Minggu, 24 Februari 2013 aku sempet maen ke lereng
Merapi. Dusun Kinahrejo tepatnya....
Apalagi kalo bukan “menengok” peninggalan sosok yang bernama Mbah Maridjan.
Tentu tak asing lagi dengan nama itu bukan? Ya, dialah yang dulu pernah
menjadi juru kuci Merapi yang meninggal sebagai korban letusan Merapi tahun
2010 lalu. Mbah Maridjan ini terkenal coy..masuk tipi…jadi bintang iklan… (aku
juga mau kali), kalo Merapi mau meletus pasti wartawan2 nyariin dia..Mbah
Maridjan ini pendiriannya kukuh, sebagai juru kunci Merapi yang baik, dia tegas
takkan meninggalkan dusunnya walo batuknya Merapi udah pake dahak. Ingat dulu
simbah menolak untuk dievakuasi padahal Merapi udah genting2nya. Saat
pemerintah ribut2 ngevakuasin warga, simbah tetep bergeming. dan akhirnyapun meninggal
karena wedhus gembel yang menyapu dusunnya…
*****
Dari parkiran aku beserta rombongan mulanya jalan kaki. Berhubung ini rombongannya bapak2 ibuk2 yang sudah meninggalkan dunia hitam
(ditandai dengan memutihnya rambut), maka beberapa meter saja mereka kelelahan.
Maklum usia senja. Akhirnya diputuskan kami naik ojekan yang harganya minta
ampuun..Per orang bayar 20 ribu! Bensin juga gak ada segitu kali! Yah
sudahlah..aku sih manut aja, lagian aku juga dibayari bapakku kok. Akhirnya kami memasuki kawasan dimana benda2 yang terkena dampak Merapi dipajang. Ada plat
penunjuk yang memberikan info tempat dulu rumah Mbah Maridjan berada.
Sampai di
sana ada semacam “kenang-kenangan” dari Merapi yang memang sengaja
diperlihatkan. Ada mobil yang hangus karena terkena awan panas.
Di sampingnya
ada sebuah rumah lengkap dengan peralatan yang juga hangus...
Tujuannya mungkin
untuk sekedar memberitau pada pengunjung bahwa letusan Merapi memang begitu
dahsyat sampe2 rumah pun tinggal puing2nya. Bahkan di dusun yang lebih atas
lagi sudah menjadi lautan pasir. Ada juga gamelan yang rupanya juga ikut menjadi
korban.
Masih utuh hanya saja beberapa bagian terlihat hangus. Sementara itu,
yang berkesan tentu saja bekas rumahnya Mbah Maridjan. Ada sebuah joglo kecil
bertuliskan “Omahe Mbah Maridjan” (Rumahnya Mbah Maridjan). Disitu ada pagernya..jadi kita gak boleh sembarangan masuk. Dipager tertulis :
Tetenger Mbah Maridjan
Di tempat ini pernah hidup seorang Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Mas Panewu Surakso Hargo yang terlahir dengan nama Maridjan. Seluruh hidupnya diabdikan sebagai Abdi Dalem Penjaga Gunung (Surakso Hargo) yang mempunyai kewajiban menjaga kelestarian dan "Ayem Tentremnya" gunung Merapi. Manusia yang sangat bersahaja dan taat beribadah ini sampai akhir hayatnya "Netepi" dan setia terhadap kewajibannya sebagai Penjaga Gunung meski nyawa menjadi taruhannya.
Disitulah dulu berdiri rumah juru kunci yang
bagi penduduk sekitar adalah sang pahlawan. Sosok Mbah Maridjan begitu melekat
di hati para penduduk. Buktinya ada
barang yang dijajakan berupa buku kecil yang memuat keberanian simbah. Selain itu juga barang lain misal kaos atau DVD dengan wajah mbah Maridjan tertampang disana.
Berhubung Mbah Maridjan sudah tiada , sekarang ini Merapi punya penjaga baru...dialah Mas Asih, putra Mbah Maridjan sendiri yang didaulat pihak keraton untuk menggantikan posisi ayahnya. Bergelar Mas Lurah Suraksosihono, Mas Asihpun menjadi Kuncen Merapi yang baru.
Tugas seorang juru kunci dijelaskan seperti pada papan di atas :
Eksistensi gunung Merapi bagi masyarakat Yogyakarta tak lepas dari mitos adanya hubungan khusus antara penunggu Merapi dengan lingkungan keraton Yogyakarta. Kondisi ini diperkuat dengan adanya utusan dari keraton Yogyakarta yang menjadi juru kunci Merapi.
Juru kunci bertugas memberi informasi tentang gunung yang didaki, memberitahu apa yang dilarang, di mana jalur pendakian, penyelamatan, dan lain-lain. Selain bertugas menjaga gunung dengan terawangan berdasarkan pengalaman ("ilmu titen") dan menggabungkannya dengan firasat sebagai warga Merapi yang telah terasah sejak kecil. Tugas paling utama tentu saja memberi informasi kepada penduduk sekitar bila ada aktivitas Merapi yang dirasa membahayakan.
Juru kunci Merapi merupakan anggota abdi dalem, diangkat langsung oleh keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mengemban misi berat tersebut. Sebagai abdi dalem, Kuncen juga melayani setiap kali keluarga keraton melakukan ritual di Merapi.
Letusan Merapi 2010 menyisakan duka yang mendalam bagi para korban khusunya dan seluruh Indonesia umumnya. Namun, disinilah kekuatan sebuah bencana menjadikan semua warga NKRI bersatu dengan memberi bantuan dan rasa simpatinya tanpa mengenal suku, agama, ras, maupun budaya. Semua rakyat Indonesia ikut larut dalam kesedihan yang sama sekalipun tak merasakan secara langsung....
*****
Peristiwa itu masih saja terbayang dalam pikiranku. Aku liet di tivi sangat dahsyat sekali kejadiannya. Aku sempet menjadi relawan dulu di GOR UNY bareng temen2. Pengaruh letusannya selain membuat penduduk mengungsi juga membuat Kali Putih banjir lahar. Dulu jalan raya Magelang-Yogya sempet putus beberapa jam dan dialihkan ke jalan alternatif. Ini aku alami sendiri waktu aku mau pulang naik bis. Wonosobo-Yogya ditempuh dalam waktu 6 jam karena jembatan masih dalam pembersihan pasir dan batu. Oh iya..sampe-sampe karena letusan malam hari yang paling dahsyat membuat pihak rektorat UNY memutuskan meniadakan perkuliahan. Beberapa kampus juga meliburkan mahasiswanya. Jalan-jalan pada berabu...kita harus pake masker kalo keluar. Orang2 memilih tinggal di rumah bersama keluarganya. Toko2 tutup, jalanan lengang. Pokoknya situasi saat itu chaos banget. Saat itulah saat pertama kali dalam hidupku aku merasakan dampak sebuah bencana. Takut dan sedih. Akupun mengerti, sungguh kita takkan tahu bagaimana kesedihan para korban yang sebenarnya sampai kita ikut menjadi salah satu yang mengalaminya....
Komentar
Posting Komentar